CYBER ESPIONAGE

ETIKA PROFESI TEKNOLOGI INFORMASI & KOMUNIKASI

 STUDI KASUS “CYBER ESPIONAGE”

Latar Belakang

Negara merupakan sebuah organisasi publik yang terdiri dari beberapa unsur yaitu wilayah, rakyat, pemerintah yang berdaulat, dan pengakuan dari Negara lain, sehingga dari keempat unsur tersebut dapat digukanan untuk menajalankan sistem didalamnya baik sistem pemerintahan dan sistem hukumnya.Dalam suatu Negara terdapat masyarakat sebagai penggerak mobilitas sistem tersebut. Layaknya manusiasebagai makhluk sosial yang tak bisa hidup tanpa melakukan hubungan dengan makhluk sosial lainnya, Negara juga membutuhkan campur tangan dari Negara lain yang merupakan bentuk dari hubungan sosial antar lintas batas. Seperti dalam melakukan kerjasama Internasional dalam beberapa sektor misalnya sektor perdagangan, pendidikan dan politik, selain itu juga melakukan hubungan perjanjian bilateral antar Negara.

Perkembangan teknologi informasi di bidang Cyber semakin membuka peluang bagi setiap negara yang berambisi untuk menaklukkan Indonesia maupun Negara - Negara lain dalam melakukan aksi spionase melalui penyadapan. Aksi ini yang dikenal dengan Cyber Espionage menjadi semakin marak dan semakin mudah dilakukan karena regulasi yang mengatur tentang perbuatan Spionase melalui penyadapan masih menamppakan kelemahannya dalam mencakup permasalahan ini. Mengingat Spionase atau aksi mata-mata yang dilakukan melalui cara-cara peperangan sangat jauh berbeda dengan denganaksi mata-mata yang dilakukan tanpa adanya peperangan yaitu melalui penyadapan. Hal inilah yang justru menjadi kelemahan Pemerintah Indonesia dalam mengambil sikap dan menentukan arah kebijakan terhadap kasus Cyber Espionage.

Cyber Espionage

Perkembangan teknologi informasi di bidang Cyber semakin membuka peluang bagi setiap negara yang berambisi untuk menaklukkan Indonesia maupun Negara - Negara lain dalam melakukan aksi spionase melalui penyadapan. Aksi ini yang dikenal dengan Cyber Espionage menjadi semakin marak dan semakin mudah dilakukan karena regulasi yang mengatur tentang perbuatan Spionase melalui penyadapan masih menamppakan kelemahannya dalam mencakup permasalahan ini. Mengingat Spionase atau aksi mata-mata yang dilakukan melalui cara-cara peperangan sangat jauh berbeda dengan denganaksi mata-mata yang dilakukan tanpa adanya peperangan yaitu melalui penyadapan. Hal inilah yang justru menjadi kelemahan Pemerintah Indonesia dalam mengambil sikap dan menentukan arah kebijakan terhadap kasus Cyber Espionage.

Cyber Espionage merupakan kejahatan yang memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan komputer pihak sasaran. Sabotage and Extortion merupakan jenis kejahatan yang dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet.

Definisi Cyber Espionage

Cyber Espionage dapat didefinisikan sebagai tindakan spionase yang dilakukan melalui penyadapan dengan menggunakan pemanfaat teknologi dan informasi dapat menghilangkan batas-batas wilayah (borderless) sehingga akan berdampak pada kedaulatan suatu Negara yang sifatnya akan menjadi kabur ketika informasi dan data rahasia mudah diakses tanpa adanya batas antar ruang dan waktu. Sehingga permasalahan yang timbuldan akan dilakukan telaah lebih lanjut adalah Apakah hukum Indonesia mampu mengakomodir terhadap serangan Cyber Espionage serta bagaimana upaya Indonesia dalam mengatasi serangan Cyber Espionage yang dapat mengancam stabilitas pertahanan dan keamanan Negara.

Faktor Pendorong Pelaku Cyber Espionage

Adapun faktor pendorong penyebab terjadinya cyber espionage adalah sebagai berikut :
1. Faktor Politik
Faktor ini biasanya dilakukan oleh oknum-oknum tertentu untuk mencari informasi tentang lawan
2. Faktor Ekonomi
Karna latar belakang ekonomi orang bisa melakukan apa saja, apalagi dengan kecanggihan dunia cyber kejahatan semangkin mudah dilakukan dengan modal cukup dengan keahlian dibidang komputer saja.
3. Faktor Sosial Budaya
Adapun beberapa aspek untuk Faktor Sosial Budaya :
    a. Kemajuan Teknologi Informasi
Karena teknologi sekarang semangkin canggih dan seiring itu pun mendorong rasa ingin tahu para pencinta teknologi dan mendorong mereka melakukan eksperimen.
    b. Sumber Daya Manusia
Banyak sumber daya manusia yang memiliki potensi dalam bidang IT yang tidak dioptimalkan sehingga mereka melakukan kejahatan cyber.
    c. Komunitas
Untuk membuktikan keahlian mereka dan ingin dilihat orang atau dibilang hebat dan akhirnya tanpa sadar mereka telah melanggar peraturan ITE.

UU Mengenai Cyber Espionage

Cyber espionage sendiri telah disebutkan di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dan untuk ketentuan pidananya ada pada :

1. Pasal 46 Ayat 2 “ Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah)”

2. Pasal 47 Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).


Studi Kasus Cyber Espionage di Indonesia

Australia sudah lama melakukan aksi mata-mata terhadap Indonesia. Duta Besar Australia di Indonesia Sir Walter Crocker (1955-1956) dalam biografinya mengakui, lembaga sandi Australia, Defense Signal Directorate (Australian Signal Directorate) secara rutin memecahkan dan membaca sandi diplomatik Indonesia sejak pertengahan 1950.
           
Pada tahun 1960-an Badan intelijen sinyal Inggris, Government Communications Headquarters (GCHQ), membantu Defence Signal Directorate (DSD) Australia yang sekarang berganti nama Australian Defence Directorate (ASD) memecahkan kunci alat sandi produksi Swedia, Hagelin, yang digunakan Kedutaan Besar Indonesia di Darwin Avenue, Canberra. Pos pemantauan lain Defence Signal Directorate mengoperasikan intersepsi sinyal dan markas pemantauan di Kepulauan Cocos, di Samudra Hindia, 1.100 kilometer barat daya Pulau Jawa. Fasilitasnya meliputi radio pengawasan, pelacak arah, dan stasiun satelit bumi. Dari pos pemantauan tersebut Agen mata-mata elektronik Australia Defence Signals Directorat (DSD) 'menguping' komunikasi Angkatan Laut dan militer Indonesia.

Pada tahun 1960-an Badan intelijen sinyal Inggris, Government Communications Headquarters (GCHQ), membantu Defence Signal Directorate (DSD) Australia yang sekarang berganti nama Australian Defence Directorate (ASD) memecahkan kunci alat sandi produksi Swedia, Hagelin, yang digunakan Kedutaan Besar Indonesia di Darwin Avenue, Canberra. Pos pemantauan lain Defence Signal Directorate mengoperasikan intersepsi sinyal dan markas pemantauan di Kepulauan Cocos, di Samudra Hindia, 1.100 kilometer barat daya Pulau Jawa. Fasilitasnya meliputi radio pengawasan, pelacak arah, dan stasiun satelit bumi. Dari pos pemantauan tersebut Agen mata-mata elektronik Australia Defence Signals Directorat (DSD) 'menguping' komunikasi Angkatan Laut dan militer Indonesia.

Operasi pengintaian ini terungkap menurut dokumen Edward Snowden, dengan nama sandi Reprieve yang merupakan bagian dari program intelijen “Lima Mata‟. Kolaborasi intelijen „Lima Mata‟ mencakup Amerika Serikat, Inggris, Selandia Baru, Kanada, dan Australia. Dokumen rahasia yang dipublikasikan luas oleh Guardian Australia bersama Australian Broadcasting Corporation serta The Sydney Morning Herald bahwa penyadapan oleh Australia terhadap Indonesia berdasarkan bukti slides rahasia Departemen pertahanan Australia.

Dalam Slides 6 halaman tersebut yang di sadap Australia yaitu :
1. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
2. Ibu Negara Kristiani Herawati atau Ani Yudhoyono
3. Wakil Presiden Boediono
4. Mantan Wapres Jusuf Kalla
5. Mantan Juru Bicara Kepresidenan Bidang Luar Negeri Dino Patti Djalal yang kini menjadi Duta Besar RI untuk Amerika Serikat,
6. Mantan Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng 
7. Mantan Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa yang kini menjabat Menteri Koordinator Perekonomian
8. Mantan Menteri Koordinator Perekonomian Sri Mulyani Indrawati yang kini menjabat Direktur Bank Dunia
9. Mantan Menteri Koor. Politik Hukum dan HAM Widodo AS, dan
10. Mantan Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil.

Kesepuluh nama orang penting di Indonesia tersebut terpampang berurutan dalam slide berjudul “IA Leadership Targets + Handsets.‟ Di samping namanama mereka tercantum pula jenis ponsel yang mereka gunakan. Pada slide lain yang diberi judul “Indonesia President Voice Events,‟ terpampang grafik panggilan yang masuk dan keluar dari ponsel Nokia E90-1 milik Presiden SBY. Percakapan SBY tersebut disadap DSD sebanyak 15 kali pada bulan Agustus 2009. Rekaman data ini mencatat spesifik jumlah panggilan masuk dan panggilan keluar, lama panggilan dan nomor tujuan yang ditelepon. Pada setiap slide terdapat tanda “Top Secret Comint”. Comint adalah singkatan dari Communication Intelligence. Yang dalam bahasa Indonesia berarti, komunikasi intelijen yang sangat rahasia.

Beberapa Keterangan Adanya Cyber Espionage

1) Dokumen rahasia yang dipublikasikan luas oleh Guardian Australia bersama Australian Broadcasting Corporation serta The Sydney Morning Herald bahwa penyadapan oleh Australia terhadap Indonesia berdasarkan bukti slides rahasia Departemen pertahanan Australia.
2) Ada empat operator telekomunikasi indonesia yaitu Telkomsel, XL, Indosat dan Hutchinson 3G yang dituduh terlibat dalam penyadapan presiden, wakil presiden, ibu negara dan beberapa menteri oleh Australia dan Amerika sebagaimana disebut dalam dokumen yang dibocorkan mantan staf badan intelijen AS, National Security Agency (NSA), Edward Snowden.
3) Ada empat operator telekomunikasi indonesia yaitu Telkomsel, XL, Indosat dan Hutchinson 3G yang dituduh terlibat dalam penyadapan presiden, wakil presiden, ibu negara dan beberapa menteri oleh Australia dan Amerika sebagaimana disebut dalam dokumen yang dibocorkan mantan staf badan intelijen AS, National Security Agency (NSA), Edward Snowden.
4) Soal satelit, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro juga mengungkapkan bahwa banyak informasi negara bobol lewat satelit. Hal itu karena satelit yang dipakai adalah satelit sewaan, bukan milik Indonesia sendiri. "Selama ini kita kebobolan karena satelit yang ada selama ini adalah satelit sewaan, bukan milik kita. Begitu mudahnya kita disadap," ungkap Purnomo. Karen aitu, Purnomo mengusulkan agar Indonesia memiliki satelit sendiri karena ini menyangkut keamanan komunikasi Indonesia.

Beberapa Fakta Terkait Tindakan Cyber Espionage

1) Situs harian The Australian menuliskan bahwa pemerintah Australia juga menyadap satelit Palapa milik Indonesia. Pihak yang diduga menyadap adalah Australian Signals Directorate (ASD), salah satu direktorat di Kementerian Pertahanan Australia yang bertanggung jawab atas signals intelligence (SIGNIT).
2) Kecurigaan keterlibatan vendor ponsel dalam aksi penyadapan yang dilakukan oleh australia, melihat semua vendor ponsel di indonesia merupakan perusahaan asing yang memiliki kedekatan dengan 5 negara yang tergabung dalam UKUSA yang salah satunya adalah australia
3) Informasi mengenai penyadapan satelit ini diungkap Des Ball, professor dari Australian National University’s Strategic and Defence Studies Centre. Dalam artikel itu, Satelit Palapa disebutsebut sebagai sasaran kunci penyadapan yang dilakukan Australia. 
4) Dalam laporan yang disampaikan The Age, keterlibatan Singtel dikarenakan Singtel dimiliki secara mayoritas oleh Temasek Holding, yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah Singapura dalam hal investasi. Temasek di Indonesia pernah memiliki Indosat melalui Singapore Technologies Telemedia (STT) sebelum sahamnya kemudian dijual ke Qatar Telecom, serta SingTel yang memiliki 35% saham di Telkomsel yang merupakan operator terbesar di Indonesia saat ini
5) Perdana Menteri Abbot waktu itu enggan meminta maaf, berdalih bahwa apa yang dilakukan intelijen Australia ini merupakan upaya untuk melindungi warga negaranya.
6) Ketika isu penyadapan kembali muncul, Abbot mengulang pembelaannya, mengatakan penyadapan itu dilakukan demi melindungi warga negaranya dan tidak digunakan untuk kepentingan komersial.

Upaya Hukum yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam Kasus Penyadapan/Cyber Espionage Australia terhadap Indonesia

Penyadapan merupakan tindakan mendengarkan, merekam, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi ataupun jaringan nirkabel. Australia telah mempunyai aturan hukum yang jelas dan rinci yang mengatur tentang penyadapan. Pada tanggal 1 Desember 2014, Australia telah mengesahkan ”Telecommunications (Interception and Access) Act 1979” yang secara khusus mengatur mengenai larangan penyadapan telekomunikasi.

Terdapat dua bentuk upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Indonesia yaitu upaya hukum preventif dan upaya hukum represif. Upaya hukum preventif adalah usaha untuk menghindari atau mencegah perbuatan pelanggaran agar tidak terulang kembali.

Dalam kasus ini, Indonesia dapat menempuh upaya hukum preventif secara bilateral untuk menghindari atau mencegah perbuatan pelanggaran yang melibatkan dua pihak. Dalam hal ini Indonesia telah menandatangani Code of Conduct on Framework for Security Cooperation bersama Australia yang menyepakati untuk tidak melakukan tindakan yang dapat merugikan kepentingan pihak-pihak tertentu, termasuk penyadapan.

Upaya hukum represif adalah suatu tindakan ketika sebuah aturan telah dilanggar. Upaya hukum represif secara multilateral merupakan upaya hukum terakhir yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa yang melibatkan lebih dari dua pihak. Apabila dikaitkan ke dalam kasus penyadapan Australia, Indonesia dapat membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional (ICJ). Indonesia harus dapat memastikan bahwa yang melakukan penyadapan merupakan organ negara atau agent of state. DSD merupakan badan intelijen milik pemerintah Australia atau dengan kata lain DSD adalah salah satu organ negara Australia. ICJ sebagai organisasi internasional memiliki kewenangan untuk menyelesaikan kasus penyadapan Australia terhadap Indonesia. Pasal 34 ayat (1) Statuta ICJ menyatakan: “Only states may be parties in cases before the Court”. Berdasarkan ketentuan tersebut Indonesia dapat mengajukan kasus penyadapan Australia ke Mahkamah Internasional.

Undang-Undang Mengenai Cyber Espionage

Cyber espionage sendiri telah disebutkan di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. UU ITE yang mengatur tentang cyber espionage adalah sebagai berikut :

1. Pasal 30 Ayat 2 ”mengakses komputer dan/atau sistem elektronik dengan cara apapun dengan tujuan untuk memperoleh informasi dan/atau dokumen elektronik”
2. Pasal 31 Ayat 1 “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain” 

Dan untuk ketentuan pidananya ada pada :

1. Pasal 46 Ayat 2 “ Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah)
2. Pasal 47 Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis dalam pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa hukum Indonesia dalam menghadapi Cyber Espionage sebagai bentuk dari Cyber Warfare yang dapat mengancam terhadap stabilitas pertahanan dan keamanan NKRI masih belum mampu mengakomodir karena hukum Indonesia tentang Cyber Espionage tidak secara tegas mengatur, hanya sebagaian yang menjelaskan tentang tindakan memata-matai itupun dilakukan dengan cara konvensional. Sehingga dalampenerapannya hukum Indonesia tentang Cyber Espionage terdapat kekaburan norma (Vague Norm) dan membutuhkan penafsiran secara ekstentif. Selain itu penafsiran sistematis juga dibutuhkan untuk mendukung dalam memberikan terang terhadap penafsiran pada Pasal yang dianggap sesuai denganCyber Espionage. Upaya Indonesia dalam menghadapi ancaman Cyber Espionage yaitu : melakukan upaya preventif dengan Cyber Defense dan Cyber Security, mengoptimalisasikan alat negara yaitu TNI (Tentara Nasional Indonesia) sebagai penjaga kemanan negara dan BIN (Badan Intelijen Negara) sebagai wadah untuk melakukan deteksi dini terhadap serangan dari luar selain itu juga menempatkan POLRI sebagai sumber hukum nasional sebagai komponen pendukung dalam upaya pertahanan negara. Upaya selanjutnya adalah Penangan terhadap upaya yuridis dalam Hukum positif Indonesia dengan konsep pertanggung jawaban negara.

Daftar Pustaka

Anggriani,  Jum, (2012).  Hukum  Administrasi  Negara,   Graha  Ilmu,  Yogyakarta
Atmadja, Nugrha Purna (2017), “Dukungan Indonesia Terhadap Resolusi Anti Spionase Perserikatan                 Bangsa-Bangsa”, e-Journal Ilmu Hubungan Internasional, ISSN 2477-2615
Lisbet. 2013. Sikap indonesia terhadap isu penyadapan Amerika serikat dan  australia. Vol. V,                             No. 21. P3DI
Rofi’a Zulkarnain dkk. Tindakan Spionase Melalui Penyadapan Antar Negara Sebagai Cybercrime.                 Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Keterangan Pers Presiden Ri Terkait Surat Jawaban Dari Pm Australia, Kantor Presiden, Jakarta, 26                 November 2013, https://setkab.go.id/, diakses tanggal 04 April 2017
Evi Dwi Hastri, 2021. “Cyber Espionage Sebagai Ancaman Terhadap Pertahanan dan Keamanan                     Negara Indonesia” , Universitas Wiraraja


=========================================================================

Disusun Oleh :

1.  Sastra Utama (12182773)
2.  Melcy Aries Apriandini (12182091)
3.  Agus Rifal Fahrudin (12182856)
4.  Istiawan (12181645)
5.  Arief Rahman Hakim (12182086)
6.  Holilah (12183669)
7.  Kurniawan Yanuar (12181322)
8.  Alma Hadiyati (12182440)
9.  Aris munandar (12180260)
10. Ath Thariq Jihadsyah (12182807)





Komentar